News

Ungkap Risiko Moratorium PKPU dan Kepailitan, Praktisi Hukum: Itu Harus Ditolak

Praktisi Hukum sekaligus Advokat dari Kantor Frans & Setiawan Law Office, Hendra Setiawan Boen, menilai usulan moratorium Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU dan kepailitan yang diajukan Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo harus ditolak.

“Apabila perkara PKPU dan kepailitan baru dihentikan maka kreditur yang memiliki tagihan terhadap debitur harus menggunakan mekanisme gugatan biasa, yang penyelesaiannya memakan waktu sangat lama,” ujar Hendra kepada Tempo, Sabtu, 28 Agustus 2021.

Menurut Hendra, pemerintah juga harus mempertimbangkan kondisi keuangan dari kreditur-kreditur nantinya yang memiliki tagihan macet tapi tidak dapat ditagih. Padahal, para kreditur juga memiliki karyawan, juga memiliki pemasok barang dan jasa yang haris dibayar.

“Jadi multiplier effect dari penghentian PKPU dan kepailitan baru sangat besar dan luas, dan justru berpotensi menimbulkan masalah ekonomi baru,” ujar dia.

Sebelumnya, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan aturan yang memoratorium pengajuan pailit. Ia mengatakan beleid tersebut diperlukan oleh dunia usaha di tengah tekanan pandemi ini.

Hariyadi mengatakan usulan itu pun dilontarkan karena sekarang mulai terjadi gelombang pengajuan PKPU dan kepailitan yang sudah menunjukkan gejala kurang sehat.

Berbeda dengan pandangan Hariyadi, Hendra menilai PKPU yang merupakan restrukturisasi utang melalui pengadilan justru merupakan win-win solution. Sebab, kreditur akan mendapat kepastian pembayaran sementara debitur dapat menyusun rencana pembayaran sesuai kemampuan dan kondisi keuangan mereka.

Apabila restrukturisasi utang ini berhasil, maka para kreditur dan debitur dapat kembali fokus mempertahankan usaha mereka dari kondisi ekonomi yang memburuk akibat Covid-19 yang tidak kunjung reda.

Hendra pun mengingatkan bahwa risiko dari penghentian PKPU dan kepailitan baru adalah ketidakpastian bagi para kreditur. Karena, bisa saja debitur mereka sebenarnya adalah perusahaan kosong yang kondisi keuangan sudah tidak memungkinkan beroperasi tapi terus memaksakan diri.

“Meminjam istilah dari Chatib Basri, perusahaan seperti ini layak disebut sebagai perusahaan zombie. Hidup segan, mati tidak mau,” ujar dia.

Hendra tak menampik adanya kenaikan perkara PKPU dan Kepailitan di Indonesia. Namun, angka itu dinilai tidak signifikan dibanding negara lain. Tahun 2019, Amerika Serikat mencatat 718.553 perkara restrukturisasi utang melalui pengadilan, sementara di 2020 menjadi 544.463 perkara.

Di Indonesia tahun 2019 tercatat 434 perkara PKPU dan 2020 naik menjadi 641 perkara. “Jadi terlihat perkara restrukturisasi utang di Indonesia masih kecil sehingga adanya kenaikan tidak perlu ditanggapi secara over-reaktif oleh pengusaha dan pemerintah,” ujar Hendra.

Sumber: bisnis.tempo.co/

Related Articles

Close